Dikisahkan
ketika batara Wisnu sedang bercengkrama di negara Mendang, ia terpikat oleh
seorang putri cantik yang kemudian diambil sebagai istri. Batara Wisnu tidak
tahu bahwa Putri Mendang yang ia nikahi adalah putri simpanan batara Guru
ayahnya, yang rencananya akan dibawa naik ke Suralaya. Tentu saja hal tersebut
membuat batara Guru murka, dan memerintahkan sanghyang Narada menjatuhkan
murkanya dan mengambil alih keratonnya. Batara Wisnu merasa bersalah, ia
meninggalkan negaranya dan isterinya yang sedang mengandung dan pergi bertapa
di hutan di bawah pohon beringin berjajar tujuh.
Pada
saat itu Negara Gilingwesi sedang paceklik, mengalami masa sulit. Harga
kebutuhan pokok melambung tinggi sehingga tak terjangkau. Di mana-mana terjadi
bencana dan kerusakan lingkungan. banyak rakyat kecil yang sengsara. Sering
terjadi gerhana Matahari dan gerhana Bulan, hujan salah musim, gempa bumi
sehari tujuh kali. Itu semua menjadi tanda bahwa tidak lama lagi negara
Gilingwesi akan mengalami kerusakan hebat.
Prabu
Watu-Ggunung sedih melihat kesengsaraan rakyatnya. Adakah kesalahan besar pada
diriku? Menurut kepercayaan yang ada jika sang raja melakukan dosa atau
kesalahan yang besar negara dan raktyanya akan ikut menanggung kutukan. Namun
pertanyaan Prabu Watu-Gunung tidak mudah untuk dijawab.
Pada
suatu sore, Prabu Watu-Gunung tiduran di balai panjang, kepalanya berbantal
paha dewi Sinta istrinya. Ketika tangan Sang Dewi membelai rambut Sang Prabu,
terkejutlah ia melihat luka di kepala Prabu Watu-Gunung. Dewi Sinta bertanya
kepada suaminya, dengan suara yang bergetar dan dalam.
“Kanda Prabu, mengapa
ada luka di kepala? Berceritalah Kakanda, aku sangat ingin mengetahuinya.”
Prabu
Watu-Gunung menceritakan masa kecilnya, ketika ia ribut meminta enthong (alat
untuk mengaduk nasi yang dibuat dari kayu) yang sedang dipakai ibunya
mendinginkan nasi, sehingga diantara ibu dan anak itu saling tarik menarik
enthong. Si ibu marah, dengan spontan memukulkan enthong tersebut pada kepala
Watu-Gunung hingga berdarah. Watu-Gunung menangis. Tangisnya tidak semata-mata
rasa perih karena kulit kepalanya sobek sehingga darah keluar bercampur
keringat. Namun hatinyalah yang pedih, karena gara-gara enthong, ibunya yang
selama ini ia jadikan sumber kasih sayang begitu tega mencelakai dirinya. Bocah
kecil berusia sekitar 6 tahun tersebut lari meninggalkan rumah. Walaupun tidak
mempunyai tujuan, ia tidak berniat pulang, karena di rumah sudah tidak ada lagi
cinta yang tulus dari seorang ibu.
“Sampai
sekarang aku tidak pernah berusaha mencari kabar tentang ibuku, apakah masih
hidup ataukah sudah meninggal. Jika masih hidup pun sudah tidak ada lagi cinta
yang mengalir di sana.”
Mendengar
cerita sang Prabu, naluri sebagai seorang ibu terpukul karenanya. Dewi Sinta
teringat anaknya yang pergi dan tidak pernah pulang, karena hal yang sama
seperti yang dialami Watu-Gunung.. Perasaannya semakin kuat mengatakan bahwa
anak di pukul dengan enthong puluhan tahun lalu itu adalah prabu Watu-Gunung,
yang sekarang menjadi suaminya.
Dewi
Sinta tak kuasa menahan kesadarannya, ia terjatuh tak sadarkan diri. Prabu
Watu-Gunung terkejut penuh keheranan, Apakah penuturan masa kecilnya telah
menyinggung perasaannya? Atau ada penyakit tertentu yang menyebabkan istrinya
dengan tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri?
Tak
tergambarkan seberapa besar dan dalam kesedihan dan rasa sesal dewi Sinta,
karena Prabu Watu-Gunung yang menjadi suaminya dan telah memberikan benih untuk
27 anaknya, adalah anaknya sendiri.
Oh
Dewa hukuman apakah yang patut ditimpakan kepada kami berdua atas dosa besar
ini? apakah dosa ini pula yang menyebabkan negara Gilingwesi mendapat
kutukan?
Semenjak
kejadian itu, dewi Sinta, tidak banyak bicara, wajahnya murung. Pelayanan prabu
Watu-Gunung dan dewi Landep tidak mampu mengurangi kesedihnnya.
Ia
tidak akan membuka aib ini kepada siapapun termasuk kepada suaminya yang juga
anaknya. Diam-diam ia berusaha mencari jalan agar lepas dari Sang Prabu. Entah
apa yang menyebabkan tiba-tiba dewi Sinta mempunyai rekadaya untuk
menyingkirkan sang Prabu dari muka bumi.
Pada
suatu waktu yang dianggap baik, dewi Sinta mengungkapkan maksudnya kepada prabu
Watu-Gunung demikian.
“Jika keluhuran Sang
Prabu akan menjadi sempurna, hendaknya sang prabu memperistri bidadari
Suralaya.”
Pikir
dewi Sinta jika Prabu Watu-Gunung melamar bidadari Suralaya, pasti akan terjadi
perang, dan Sang Prabu akan gugur berhadapan dengan para dewa. Itulah jalan
yang dapat melepaskan dari suaminya yang juga anaknya dan sekaligus mengubur
aib dalam hidupnya..
Prabu
Watu-Gunung menyambut saran isterinya dengan penuh semangat. Maka demi maksud
tersebut, sang prabu segera memerintahkan kepada para punggawa dan keduapuluh
tujuh anaknya untuk menghimpun pasukannya masing-masing. Segera setelah ribuan
pasukan selesai disiapkan, berangkatlah prabu Watu-Gunung ke Suralaya memenuhi
saran isterinya, untuk melamar bidadari.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Primbon
dengan judul ASAL MULA PRIMBON,ZODIAK JAWA, PAWUKON. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://bayuzu.blogspot.com/2014/07/asal-mula-primbonzodiak-jawa-pawukon.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Monday, July 21, 2014
Belum ada komentar untuk "ASAL MULA PRIMBON,ZODIAK JAWA, PAWUKON"
Post a Comment